tajwid

Tuntutan Syari’at Islam: Ilmu Tajwid dalam Membaca Al-Qur’ân
Definisi Ilmu Tajwid

ﻭَﻫُـﻮَ ﺇِﻋْـﻄَـﺎﺀُ ﺍﻟْـﺤُـﺮُﻭﻑِ ﺣَﻘَّـﻬَـﺎ
ﻣِــﻦْ ﺻِـﻔَـﺔٍ ﻟَـﻬَـﺎ ﻭَﻣُﺴﺘَﺤَـﻘَّـﻬَـﺎ
“Ilmu yang memberikan pengertian tentang hak-hak huruf dari sifat huruf dan mustahaqqul hurûf .”[1]

Pokok Bahasan

1. Haqqul Hurûf ( ﺣﻖ ﺍﻟﺤﺮﻭﻑ ): sifat-sifat huruf dan tempat-tempat keluarnya huruf.

2. Mustahaqqul Hurûf 
( ﻣﺴﺘﺤﻖ ﺍﻟﺤﺮﻭﻑ ): meliputi hukum-hukum baru (‘aridhah ) semisal izh-har, ikhfa’, iqlab, idhgham, mad, waqaf, tafkhim, tarqiq, qalqalah, ghunnah,-.
Wajib Membaca Al-Qur’ân dengan Tajwidnya
Saat membaca al-Qur’ân dalam terapi ruqyah, wajib pula diperhatikan pengamalan tajwidnya, berdasarkan dalil al-Qur’ân dan al-Sunnah.
Dalil-Dalil Al-Qur’ân

ﻭَﺭَﺗِّﻞِ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﺗَﺮْﺗِﻴﻠًﺎ
“…Dan bacalah al-Qur’ân itu dengan perlahan-lahan. ” (QS. Muzzammil [73]: 4)

Melalui ayat yang agung ini, Allâh SWT memerintahkan kita membaca al-Qur’ân secara perlahan sehingga memudahkan kita memahami dan merenungi al-Qur’ân.
Sebagaimana yang dicontohkan oleh
Rasûlullâh SAW , beliau membaca panjang ayat yang seharusnya dibaca panjang (madd ), dan membaca pendek ayat yang seharusnya dibaca pendek.
ﻭَﻗُﺮْﺁﻧًﺎ ﻓَﺮَﻗْﻨَﺎﻩُ ﻟِﺘَﻘْﺮَﺃَﻩُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻋَﻠَﻰٰ ﻣُﻜْﺚٍ ﻭَﻧَﺰَّﻟْﻨَﺎﻩُ ﺗَﻨْﺰِﻳﻠًﺎ
“Dan al-Qur’ân itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 106)
ﻟَﺎ ﺗُﺤَﺮِّﻙْ ﺑِﻪِ ﻟِﺴَﺎﻧَﻚَ ﻟِﺘَﻌْﺠَﻞَ ﺑِﻪِ
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur’ân karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.” (QS. Al-Qiyâmah [75]: 16)
Dalil Al-Sunnah
Salah satu dalil hadîts tentang tajwid ialah hadîts dari Qatadah r.a. ia berkata, Anas r.a. pernah ditanya:
ﻛَﻴْﻒَ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻗِﺮَﺍﺀَﺓُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻣَﺪًّﺍ ﺛُﻢَّ ﻗَﺮَﺃَ } ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢِ { ﻳَﻤُﺪُّ ﺑِﺒِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻳَﻤُﺪُّ ﺑِﺎﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﻭَﻳَﻤُﺪُّ ﺑِﺎﻟﺮَّﺣِﻴﻢِ
“Bagaimanakah bacaan (al-Qur’ân) Nabi SAW?” Ia pun menjawab, “Beliau membaca dengan madd (dipanjangkan).” Lalu Anas r.a. mencontohkan, “Bismillâhirrahmânirrahîm” Anas r.a. menjelaskan, “Beliau SAW memanjangkan bacaan, ‘Bismillâh’ dan juga memanjangkan bacaan, ‘arrahmân’ serta bacaan, ‘arrahîm’.” (HR. al-Bukhârî)
Pendapat Para Ulama Berdasarkan Dalil-Dalil Syar’i
Syaikh Muhammad al-Mahmud menegaskan:
ﺍَﻟﺘَّﺠْﻮِﻳْﺪُ ﻻَﺧِﻼَﻑَ ﻓِﻲْ ﺍَﻧَّﻪُ ﻓَﺮْﺽُ ﻛِﻔَﺎﻳَﺔٍ ﻭَﺍﻟْﻌَﻤَﻞُ ﺑِﻪ ﻓَﺮْﺽُ ﻋَﻴْﻦٍ ﻋَﻠٰﻰ ﻛُﻞِّ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ ﻭَﻣُﺴْﻠِﻤَﺔٍ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻤُﻜَﻠِّﻔِﻴْﻦَ
“Tidak ada perbedaan pendapat bahwasanya (mempelajari) ilmu tajwid hukumnya fardhu kifayah (baca: ilmu tajwid sebagai disiplin ilmu), sementara mengamalkannya (saat membaca
al-Qur’ân ) hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim dan muslimah yang telah mukallaf.” [2]
Ada yang bertanya, “Apabila ada seseorang yang secara sengaja membaca al-Qur’ân dengan menyalahi ketentuan-ketentuan pembacaan yang semestinya (tak menerapkan ilmu tajwid) tanpa ada suatu udzur, haramkah hukumnya atau makruh saja?” Imam al-Nawawi menjawab, “Hukumnya haram.” [3]
Imam Ibn al-Jazari dalam sya’irnya menuturkan:
ﻭَﺍﻷَﺧْـﺬُ ﺑِﺎﻟﺘَّـﺠْـﻮِﻳـﺪِ ﺣَـﺘْــﻢٌ ﻻﺯِﻡُ
ﻣَــﻦْ ﻟَــﻢْ ﻳُـﺠَـﻮِّﺩِ ﺍﻟْـﻘُـﺮَﺁﻥَ ﺁﺛِــﻢُ
ﻷَﻧَّــﻪُ ﺑِـــﻪِ ﺍﻹِﻟَـــﻪُ ﺃَﻧْـــﺰَﻻَ
ﻭَﻫَـﻜَـﺬَﺍ ﻣِـﻨْـﻪُ ﺇِﻟَـﻴْـﻨَـﺎ ﻭَﺻَـــﻼَ
“Membaca al-Qur’ân dengan tajwid, hukumnya wajib.
Siapa saja yang membaca al-Qur’ân tanpa tajwid, hukumnya dosa.
Karena sesungguhnya Allâh menurunkan al-Qur’ân berikut tajwidnya.
Demikianlah yang sampai kepada kita dari-Nya.” [4]
Para ulama qira’at telah sepakat bahwa membaca al-Qur’ân tanpa tajwid merupakan suatu ﻟﺤﻦ (kesalahan)[5] . Imam Jalaluddin al-Suyuthi ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ menjelaskan bahwa setidaknya ada dua macam ﻟﺤﻦ yang mungkin terjadi pada orang yang membaca al-Qur’ân tanpa tajwid;
al-Lahn al-Jâliy ( ﺍﻟﻠﺤﻦ ﺍﻟﺠﻠﻲ )
Yakni kesalahan yang nyata pada lafazh sehingga kesalahan tersebut dapat diketahui oleh para ulama Qira’at, maupun orang Islam pada umumnya. Misalnya mengganti huruf dengan huruf lain ( ﺇﺑﺪﺍﻝ ﺣﺮﻑ ﺑﺤﺮﻑ ), mengganti harakat dengan harakat lain (ﺇﺑﺪﺍﻝ ﺣﺮﻛﺔ ﺑﺤﺮﻛﺔ ), mengganti sukun dengan harakat ( ﺇﺑﺪﺍﻝ ﺳﻜﻦ ﺑﺤﺮﻛﺔ ) atau menambah atau mengurangi huruf ( ﺯﻳﺎﺩﺓ ﺃﻭ ﻧﻘﺼﺎﻥ ﺍﻟﺤﺮﻭﻑ ). Mengubah makna atau tidak, hukumnya haram.
Di antara contoh lahn ini, apabila seorang qari’
membaca surat al-Fatihah:
Pertama, Mengganti huruf ﻉ dibaca madd pada kata (ﺍﻟﻌﻠﻤﻴﻦ) yang berarti ‘Alam Semesta’, dengan huruf ﺃ yang dibaca madd (ﺍﻷﻟﻤﻴﻦ) yang berarti ‘Penyakit’. Kedua, Menghilangkan bacaan
tasydîd ﻱ dan memendekkan bacaan ﺍ pada kalimat (ﺇﻳﺎﻙ). Yang seharusnya dibaca (ﺇِﻳَّﺎﻙَ), diubah menjadi (ﺇِﻳَﻚَ ), mengubah makna yang tadinya kepada Allah, jadi kepada sinar matahari-Nya.
Al-‘Alim al-Syaikh al-Nawawi al-Bantani berfatwa dalam Syarh Sullam al-Munâjâh ketika membahas bacaan al-Fâtihah,
ﻟَﻮْ ﺗَﺮَﻙَ ﺍﻟﺘَّﺸْﺪِﻳْﺪَ ﻣِﻦْ ﺇِﻳَّﺎﻙَ ﻋَﺎﻣِﺪًﺍ ﻋَﺎﻟِﻤًﺎ ﻣَﻌْﻨَﺎﻩُ ﻛَﻔَﺮَ
“Namun jika dia meninggalkan tasydîd dari kalimat Iyyâka , dengan sengaja (serta) mengetahui artinya, maka orang tersebut menjadi kafir.”
Beliau menjelaskan , “Karena sesungguhnya kalimat al-Iyya dengan dibaca kasroh hamzah-
nya dan diringankan ya- nya (tak dibaca tasydîd-
nya) dan memendekkan bacaan alif (menghilangkan madd ), adalah bermakna ‘sinar matahari’. Maka (penyimpangan seperti itu), menjadikan seseorang seakan berkata, ‘ Kami menyembah sinar matahari-Mu. ’”
al-Lahn al-Khâfiy ( ﺍﻟﻠﺤﻦ ﺍﻟﺨﻔﻲ ).
Yakni kesalahan yang tersembunyi pada lafazh. Kesalahan ini hanya dapat diketahui oleh para ulama Qira’at atau kalangan tertentu yang mendalami Qira’at. Misalnya menggetarkan (takrîr ) huruf ﺭ (ra’) secara berlebihan atau sebaliknya.
Tujuan Mempelajari Ilmu Tajwid
Syaikh Muhammad al-Mahmud berkata:
ﻏَﺎﻳَﺘُﻪُ ﺑُﻠُﻮْﻍُ ﺍﻟﻨِّﻬَﺎﻳَﺔِ ﻓِﻲ ﺍِﺗْﻘَﺎﻥِ ﻟَﻔْﻆِ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎﺗُﻠُﻘِّﻲَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤَﻀْﺮَﺓِ ﺍﻟﻨَّﺒَﻮِﻳَّﺔِ ﺍَﻻَﻓْﺼَﺤِﻴَّﺔِ ﻭَﻗِﻴْﻞَ ﻏَﺎﻳَﺘُﻪُ ﺻَﻮْﻥُ ﺍﻟﻠِّﺴَﺎﻥِ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺨَﻄَﺎﺀِ ﻓِﻲ ﻛِﺘَﺎﺏِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ
“Tujuan (memahami ilmu tajwid- ) ialah agar dapat membaca ayat-ayat al-Qur’ân secara betul (fasih) sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi SAW. Dengan kata lain, agar dapat memelihara lisan dari kesalahan-kesalahan ketika membaca kitab Allâh SWT .” [6]
Sunnah Membaca Al-Qur’ân dengan Suara yang Merdu
Adapun menghiasi bacaan al-Qur’ân dengan suara merdu, merupakan amalan yang mandub
(hukumnya sunnah) berdasarkan hadîts, dari Abu Hurairah bahwa Ia mendengar
Rasûlullâh SAW bersabda:
ﻣَﺎ ﺃَﺫِﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟِﺸَﻲْﺀٍ ﻣَﺎ ﺃَﺫِﻥَ ﻟِﻨَﺒِﻲٍّ ﺣَﺴَﻦِ ﺍﻟﺼَّﻮْﺕِ ﻳَﺘَﻐَﻨَّﻰ ﺑِﺎﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻳَﺠْﻬَﺮُ ﺑِﻪِ
“Allâh tidak menaruh perhatian terhadap sesuatu, seperti perhatian-Nya terhadap Nabi ketika melagukan al-Qur’ân dengan suara yang indah dan nyaring.” (HR. Muslim no. 1319) [7]
ﺯَﻳِّﻨُﻮﺍ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﺑِﺄَﺻْﻮَﺍﺗِﻜُﻢْ
“ Hiasilah al-Qur’ân dengan suara-suara kalian .” (HR. Ahmad)
Namun, sangat disayangkan apabila ada orang yang membaca al-Qur’ân dengan suara yang merdu, tapi melalaikan penerapan tajwidnya. Misalnya membaca panjang yang seharusnya dibaca pendek (atau sebaliknya) karena disesuaikan dengan alunan suara, ini termasuk cara al-tathrib (ﺍﻟﺘﻄﺮﻳﺐ ) yang dilarang syari’at. Yang perlu diperhatikan adalah skala prioritas .
Namun alangkah baiknya membaca al-Qur’ân sesuai dengan kaidah tajwidnya (fardhu ‘ain) dan dilantunkan dengan suara yang merdu (sunnah).
Peringatan Penting! Cara Membaca Al-Qur’ân yang Dilarang
Syaikh Muhammad Makkiy Nashr merinci beberapa cara membaca atau tingkah laku yang menyimpang dari tujuan membaca al-Qur’ân.
Al-Tarqish ( ﺍﻟﺘﺮﻗﻴﺺ )
Ketika membaca al-Qur’ân sengaja berhenti pada huruf mati namun lantas dihentikan secara tiba-tiba, seakan-akan melompat atau berjalan cepat meliuk-liuk seperti penari.
Al-Tahzin ( ﺍﻟﺘﺤﺰﻳﻦ )
Membaca al-Qur’ân dengan mimik atau gaya yang dibuat sedih atau hampir menangis dengan tujuan semata-mata menarik perhatian pendengar.
Al-Tar’id (ﺍﻟﺘﺮﻋﻴﺪ)
Mengalunkan suara yang terlalu bergetar layaknya orang yang kedinginan atau kesakitan.
Al-Tathrib ( ﺍﻟﺘﻄﺮﻳﺐ )
Melagukan al-Qur’ân sehingga membaca panjang (mad) tak pada tempatnya atau memanjangkan yang seharusnya dibaca pendek karena disesuaikan dengan lagunya.
Al-Tarji’ (ﺍﻟﺘﺮﺟﻴﻊ )
Membaca al-Qur’ân dengan tempo naik turun; rendah kemudian tinggi, lantas merendah dan meninggi lagi dalam satu bacaan panjang (mad).
Al-Tahrif ( ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻒ )
Membaca al-Qur’ân bersamaan beberapa orang (koor) suatu ayat yang panjang dengan bergantian berhenti bernafas, sehingga jadilah ayat yang panjang itu bacaan yang tak terputus-putus.
Termasuk bacaan yang terlarang adalah bacaan syadz, yakni bacaan yang menyalahi bacaan masyhur yang telah disepakati ke-
mutawattir-annya (qira’at sab’ah ). Imam al-Nawawi berkata, “Tidak boleh (haram) membaca al-Qur’ân dengan bacaan yang syadz, baik dalam shalat maupun di luar shalat.” [8]
Dalam kitab Fatwa al-‘Allamah al-Imam al-Nawawi dikisahkan: “Sebagian orang jahil di Damaskus membaca al-Qur’ân atas jenazah-jenazah dengan bacaan yang dipanjang-panjangkan suaranya, merusak hukum bacaan dan melagukannya secara berlebihan, juga memasukkan huruf-huruf tambahan dalam bacaan, dan lain-lain. Tercelakah perbuatan itu? Imam al-Nawawi menjawab, “Perbuatan itu sangat mungkar, tercela, serta keji. Hukumnya haram berdasarkan Ijma’ para ‘ulama.” Imam al-Mawardi dan lainnya meriwayatkan ijma’ ulama tentang haramnya perbuatan tersebut. Ia berpendapat bahwa para pemegang pemerintahan harus melarang mereka serta memberikan sanksi ta’zir kepada para pelakunya dan menyuruh mereka bertaubat. Dan setiap mukallaf wajib mengingkari dan menentang perbuatan tersebut dengan sekuat tenaga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

3 Cara Ampuh Untuk Mengatasi Error Windows Stop Code di Windows 7, 8, dan 10

FORMAT ADMINISTRASI TPQ LENGKAP DAN CONTOH BUKU

Kitab Safinah (Safinatun An-Najah) Lengkap Arab dan Terjemah